AKU
RINDU NENEK....
Aku merencanakan jeda tengah semester ini dengan kegiatan yang berbeda
dengan yang sudah – sudah. Ya, aku ingin mengajak siswaku melakukan bakti karya
ke Panti Lansia. Cukup setengah hari saja, agar mereka bisa merasakan indahnya
berbagi. Bersama Mrs.Rini yang menjadi partnerku, kami menyampaikan ide ini
kepada Kepala Sekolah, dan Alhamdulillah beliau setuju.
“Apa
yang ingin anak - anak kerjakan disini?”
tanya suster Rosa ketika kami meminta ijin agar para siswa bisa membantu para
pembina merawat mbah – mbah disana.
“Silakan
suster meminta mereka membantu apa saja. Seperti pembina lakukan selama ini
dalam mengurus anggota Panti”
Akhirnya suster Rosa membagi anak - anak
dalam beberapa kelompok. Ada yang membantu bagian dapur, bagian kebersihan
taman, menyuapi, memotong kuku, bahkan ada yang mengosek kamar mandi.
“Kerjakan
semua dengan keikhlasan ya, Nak. Begitulah nanti kalau kita menua, butuh
bantuan orang lain. Paling tidak kegiatan ini akan membuat kalian makin sayang
dengan orang tua, kalian tinggal dalam satu keluarga yang hangat. Bayangkan mbah – mbah ini, sudah tidak ada anggota
keluarga yang merawatnya. Kalau toh ada keluarga, sering mereka tidak mau
merawat” begitu pesan suster Rosa kepada para siswa.
Kelompok pertama mengikuti Suster
Mirna ke kamar A. Disana ada empat mbah.
Kamar A terisi anggota panti yang bisa dikatakan sembilan puluh persen hidupnya
harus dibantu.
“Hari
ini kita harus mengukur tekanan darah mereka lebih dulu”, suster Mirna
mengeluarkan alat tensimeter.
“Saya
bisa melakukannya,Bu” pinta Intan. Ia memang tergabung dalam team Palang Merah
Remaja di sekolah. Ia mengukur tensi mbah
Marni, “Bagus Mbah...sehat terus nggih”, katanya luwes. Kemudian pindah ke Mbah
Ranti, mbah Surip dan terakhir mbah Siti, yang menatapnya tajam.
“Kamu
sudah datang nduk...” bisik si mbah.
Dahi Intan berkerut, ia mundur beberapa langkah, “ Ini Intan mbah, siswa yang
membantu saya pagi ini” Suster Mirna menjelaskan.
“Jadi
anakku belum datang juga?”, mbah Siti selalu memanggil anaknya, yang kami juga
tidak tahu dimana alamatnya sekarang, bisik Suster.
Empat bulan lalu, anak perempuannya
mengantar mbah Siti ke panti ini. Sambil berurai air mata, anak Mbah Siti
bermaksud menitipkan Ibunya. Ia sendiri akan berangkat menjadi TKW.Suaminya
meninggal, dan tidak banyak yang bisa dia kerjakan di desa untuk menghidupi
ketiga anaknya, masih ditambah mengurus ibunya yang sudah sepuh. Perempuan itu juga harus menitipkan ketiga anaknya di panti
asuhan.Intan melihat Mbah Siti dengan rasa iba. Si Mbah tidak saja terpisah
dengan anaknya, tapi juga cucu – cucunya, yang tentu selama ini menjadi bagian
yang menghibur dirinya.
“Apakah
Mbah mau aku pijit?”, Intan menawarkan diri. Mbah Siti menatapnya sejenak,”kamu
bukan Endang. Cucuku itu pinter sekali memijat. Aku hanya mau Endang yang
mijit”. Mbah kembali menatap jalan,” kowe
nang ndi nduk.... kowe nang ndi.....” gumamnya berulang – ulang.
Kelompok kedua bertugas di kamar B. Disini ada enam mbah yang masih mampu mengurus dirinya sendiri, bahkan bisa
berkarya. Mbah Sri asyik merenda membuat taplak meja. Mbah Ninik menjahit
daster dengan jahit tangan. Mbah Merry (dia minta dipanggil oma Merry) bahkan
punya hobby keren. Oma melukis ! gunung yang terlihat dari kamarnya menjadi
objek lukisan.
“Mengapa
oma tinggal disini?” tanya Devi hati – hati. Oma meliriknya sebentar, untuk
kemudian kembali ke lukisannya. Devi merasa tidak enak hati, betapa lancangnya
dia bertanya hal – hal yang mungkin melukai oma, “maafkan pertanyaan saya ya
oma”, lagi – lagi Oma meliriknya,”aku bukan tak mau jawab, tapi aku lagi konsen
dengan ini”, Oma menunjuk kanvasnya. Oma akhirnya bercerita bagaimana ia berada
disini. Ketiga anaknya sudah berkeluarga, dan semuanya tinggal berbeda kota.
Anak – anaknya menangis ketika oma memutuskan tinggal di Panti setelah suaminya
meninggal. Semua anaknya menginginkan ia tinggal bersama mereka. Mereka adalah
anak – anak yang baik yang pasti bisa merawat ibunya. Bahkan memanjakannya.
Tapi oma Merry berpikiran lain. Di kota ini, ia
dapat menularkan kepandaian yang dimilikinya. Oma sudah kondang. Ia
sering diundang kelompok – kelompok PKK untuk mengajar berbagai keterampilan.
Merangkai bunga, membuat kue, membuat dompet dari bungkus plastik makanan
ringan dan banyak lagi. Meski usianya tujuh puluh, sambil tertawa (giginya
belum ada yang tanggal), oma selalu mengaku berusia tujuh belas.
“Kalian
menyanyi ya untuk menghibur kami, tapi jangan keras - keras” kata oma. Bisa
jadi kelompok dua merupakan kelompok dengan tugas paling ringan.
Kelompok ketiga kebagian logistik.
Mereka berkutat di dapur membantu Ibu Tuti. Makan siang yang disiapkan cukup
lengkap. Sayur sop matahari, tahu kukus bumbu kuning serta galantin manis. Ada
melon sebagai buahnya.
“Garamnya
sedikit saja ya ... tehnya juga tidak terlalu manis”. Ibu Tuti tersenyum dalam
hati mengamati kerja anak anak. Betapa kakunya Vina memegang pisau ketika
mengupas melon. Juga Rina yang beberapa kali meluruskan tangan ketika menguleg
bumbu kuning. Begitulah anak – anak sekarang. Tidak banyak pengetahuan dapur
yang mereka miliki, bisa jadi karena ada pembantu di rumah, atau seiring makin
jarang keluarga yang memasak dan lebih suka berlangganan katering.
Kelompok empat yang terdiri siswa
putra memang kebagian tugas terberat. Mereka harus membersihkan bak mandi,
mengosek lantai kamar mandi, termasuk klosetnya. Tiga siswa di kelompok itu
mengatakan tidak pernah membersihkan kamar mandi.. Meski mereka terengah –
engah, tapi tampak mereka mengerjakan dengan gembira.
Waktu berlalu begitu cepat, tak
terasa sudah pukul 12.00 siang saat anak – anak harus berpamitan, karena para
mbah harus istirahat. Sungguh mereka memperoleh pengalaman berharga.
“Jangan
hanya berhenti disini,nak. Apa yang kalian kerjakan disini, praktekkanlah di
rumah. Meski ada asisten rumah tangga, lakukan sendiri apa yang bisa kalian
lakukan. Membersihkan kamar tidur, sesekali belajar memasak di hari libur, mungkin berkebun, atau mengembangkan hobby,
seperti oma Merry, karena semakin kalian banyak learning by doing, kalian akan semakin kaya pengalaman” . Di sudut
ruang, Evan berkali – kali mengusap air matanya. Ia teringat neneknya yang dua
minggu lalu dipanggil Tuhan. Sebelum meninggal, beberapa kali nenek menelponnya
untuk datang.
“Lama
kamu nggak nengok Uti, Van. Mampirlah
kalau pulang sekolah. Mangga di belakang rumah sudah mulai masak, dan itu
untukmu. Apa kamu juga nggak kangen dengan sambal terasi bikinan Uti?”. Evan
biasa bermanja dengan Utinya bahkan minta disuapi segala.Suapan lewat tangan
Uti luar biasa enaknya.Tapi Evan
belum bisa memenuhi permintaan neneknya. Ia beralasan, sepulang sekolah harus
les ke bimbingan belajar. Sampai berita duka itu datang. Nenek tidak sakit.
Beliau tidur siang dan tidak bangun lagi.
“Maafkan
cucumu ini,Uti. Aku merindukanmu.....”. airmata Evan menderas.
******
kowe nang ndi
= kamu dimana
nduk =
panggilan untuk anak perempuan
Uti =
kependekan dari Eyang Putri = nenek.