Selasa, 08 Oktober 2019

Cermin 4


AKU RINDU NENEK....

Aku merencanakan jeda tengah semester ini dengan kegiatan yang berbeda dengan yang sudah – sudah. Ya, aku ingin mengajak siswaku melakukan bakti karya ke Panti Lansia. Cukup setengah hari saja, agar mereka bisa merasakan indahnya berbagi. Bersama Mrs.Rini yang menjadi partnerku, kami menyampaikan ide ini kepada Kepala Sekolah, dan Alhamdulillah beliau setuju.
“Apa yang ingin anak - anak  kerjakan disini?” tanya suster Rosa ketika kami meminta ijin agar para siswa bisa membantu para pembina merawat mbah – mbah disana.
“Silakan suster meminta mereka membantu apa saja. Seperti pembina lakukan selama ini dalam mengurus anggota Panti”
            Akhirnya suster Rosa membagi anak - anak dalam beberapa kelompok. Ada yang membantu bagian dapur, bagian kebersihan taman, menyuapi, memotong kuku, bahkan ada yang mengosek kamar mandi.
“Kerjakan semua dengan keikhlasan ya, Nak. Begitulah nanti kalau kita menua, butuh bantuan orang lain. Paling tidak kegiatan ini akan membuat kalian makin sayang dengan orang tua, kalian tinggal dalam satu keluarga yang hangat. Bayangkan mbah – mbah ini, sudah tidak ada anggota keluarga yang merawatnya. Kalau toh ada keluarga, sering mereka tidak mau merawat” begitu pesan suster Rosa kepada para siswa.
            Kelompok pertama mengikuti Suster Mirna ke kamar A. Disana ada empat mbah. Kamar A terisi anggota panti yang bisa dikatakan sembilan puluh persen hidupnya harus dibantu.
“Hari ini kita harus mengukur tekanan darah mereka lebih dulu”, suster Mirna mengeluarkan alat tensimeter.
“Saya bisa melakukannya,Bu” pinta Intan. Ia memang tergabung dalam team Palang Merah Remaja di sekolah. Ia mengukur tensi mbah Marni, “Bagus Mbah...sehat terus nggih”, katanya luwes. Kemudian pindah ke Mbah Ranti, mbah Surip dan terakhir mbah Siti, yang menatapnya tajam.
“Kamu sudah datang nduk...” bisik si mbah. Dahi Intan berkerut, ia mundur beberapa langkah, “ Ini Intan mbah, siswa yang membantu saya pagi ini” Suster Mirna menjelaskan.
“Jadi anakku belum datang juga?”, mbah Siti selalu memanggil anaknya, yang kami juga tidak tahu dimana alamatnya sekarang, bisik Suster.
            Empat bulan lalu, anak perempuannya mengantar mbah Siti ke panti ini. Sambil berurai air mata, anak Mbah Siti bermaksud menitipkan Ibunya. Ia sendiri akan berangkat menjadi TKW.Suaminya meninggal, dan tidak banyak yang bisa dia kerjakan di desa untuk menghidupi ketiga anaknya, masih ditambah mengurus ibunya yang sudah sepuh. Perempuan itu juga harus menitipkan ketiga anaknya di panti asuhan.Intan melihat Mbah Siti dengan rasa iba. Si Mbah tidak saja terpisah dengan anaknya, tapi juga cucu – cucunya, yang tentu selama ini menjadi bagian yang menghibur dirinya.
“Apakah Mbah mau aku pijit?”, Intan menawarkan diri. Mbah Siti menatapnya sejenak,”kamu bukan Endang. Cucuku itu pinter sekali memijat. Aku hanya mau Endang yang mijit”. Mbah kembali menatap jalan,” kowe nang ndi nduk.... kowe nang ndi.....” gumamnya berulang – ulang.    
Kelompok kedua bertugas di kamar B. Disini ada enam mbah yang masih mampu mengurus dirinya sendiri, bahkan bisa berkarya. Mbah Sri asyik merenda membuat taplak meja. Mbah Ninik menjahit daster dengan jahit tangan. Mbah Merry (dia minta dipanggil oma Merry) bahkan punya hobby keren. Oma melukis ! gunung yang terlihat dari kamarnya menjadi objek lukisan.
“Mengapa oma tinggal disini?” tanya Devi hati – hati. Oma meliriknya sebentar, untuk kemudian kembali ke lukisannya. Devi merasa tidak enak hati, betapa lancangnya dia bertanya hal – hal yang mungkin melukai oma, “maafkan pertanyaan saya ya oma”, lagi – lagi Oma meliriknya,”aku bukan tak mau jawab, tapi aku lagi konsen dengan ini”, Oma menunjuk kanvasnya. Oma akhirnya bercerita bagaimana ia berada disini. Ketiga anaknya sudah berkeluarga, dan semuanya tinggal berbeda kota. Anak – anaknya menangis ketika oma memutuskan tinggal di Panti setelah suaminya meninggal. Semua anaknya menginginkan ia tinggal bersama mereka. Mereka adalah anak – anak yang baik yang pasti bisa merawat ibunya. Bahkan memanjakannya. Tapi oma Merry berpikiran lain. Di kota ini, ia  dapat menularkan kepandaian yang dimilikinya. Oma sudah kondang. Ia sering diundang kelompok – kelompok PKK untuk mengajar berbagai keterampilan. Merangkai bunga, membuat kue, membuat dompet dari bungkus plastik makanan ringan dan banyak lagi. Meski usianya tujuh puluh, sambil tertawa (giginya belum ada yang tanggal), oma selalu mengaku berusia tujuh belas.
“Kalian menyanyi ya untuk menghibur kami, tapi jangan keras - keras” kata oma. Bisa jadi kelompok dua merupakan kelompok dengan tugas paling ringan.
            Kelompok ketiga kebagian logistik. Mereka berkutat di dapur membantu Ibu Tuti. Makan siang yang disiapkan cukup lengkap. Sayur sop matahari, tahu kukus bumbu kuning serta galantin manis. Ada melon sebagai buahnya.
“Garamnya sedikit saja ya ... tehnya juga tidak terlalu manis”. Ibu Tuti tersenyum dalam hati mengamati kerja anak anak. Betapa kakunya Vina memegang pisau ketika mengupas melon. Juga Rina yang beberapa kali meluruskan tangan ketika menguleg bumbu kuning. Begitulah anak – anak sekarang. Tidak banyak pengetahuan dapur yang mereka miliki, bisa jadi karena ada pembantu di rumah, atau seiring makin jarang keluarga yang memasak dan lebih suka berlangganan katering.      
            Kelompok empat yang terdiri siswa putra memang kebagian tugas terberat. Mereka harus membersihkan bak mandi, mengosek lantai kamar mandi, termasuk klosetnya. Tiga siswa di kelompok itu mengatakan tidak pernah membersihkan kamar mandi.. Meski mereka terengah – engah, tapi tampak mereka mengerjakan dengan gembira.
 Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah pukul 12.00 siang saat anak – anak harus berpamitan, karena para mbah harus istirahat. Sungguh mereka memperoleh pengalaman berharga.
“Jangan hanya berhenti disini,nak. Apa yang kalian kerjakan disini, praktekkanlah di rumah. Meski ada asisten rumah tangga, lakukan sendiri apa yang bisa kalian lakukan. Membersihkan kamar tidur, sesekali belajar memasak di hari libur,  mungkin berkebun, atau mengembangkan hobby, seperti oma Merry, karena semakin kalian banyak learning by doing, kalian akan semakin kaya pengalaman” . Di sudut ruang, Evan berkali – kali mengusap air matanya. Ia teringat neneknya yang dua minggu lalu dipanggil Tuhan. Sebelum meninggal, beberapa kali nenek menelponnya untuk datang.
“Lama kamu nggak nengok Uti, Van. Mampirlah kalau pulang sekolah. Mangga di belakang rumah sudah mulai masak, dan itu untukmu. Apa kamu juga nggak kangen dengan sambal terasi bikinan Uti?”. Evan biasa bermanja dengan Utinya bahkan minta disuapi segala.Suapan lewat tangan Uti luar biasa enaknya.Tapi Evan belum bisa memenuhi permintaan neneknya. Ia beralasan, sepulang sekolah harus les ke bimbingan belajar. Sampai berita duka itu datang. Nenek tidak sakit. Beliau tidur siang dan tidak bangun lagi.
“Maafkan cucumu ini,Uti. Aku merindukanmu.....”. airmata Evan menderas.
******
kowe nang ndi         = kamu dimana
nduk                           = panggilan untuk anak perempuan
Uti                               = kependekan dari Eyang Putri = nenek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Tugas Proyek Statistika