PUSPA YANG HILANG….
Tampaknya ini lagi musim kuku bercutex. Warna – warni. Menyala. Banyak muridku yang melakukannya. Satu dilarang, muncul sepuluh yang lain.Sudahlah, mungkin ini kreatifitas, lagi masanya mereka mengekspresi kan diri. Namun warna – warna cutex mengingatkanku pada Puspa. Lima tahun lalu…
Puspa gadis yang demikian lembut.Sungguh aku terkejut ketika menjumpai kukunya bercutex hitam. Ia melengkapi asesorinya dengan gelang – gelang hitam pula. Kuhitung ada sembilan. (ketika kutanya mengapa tidak sepuluh sekalian, Ia menjawab sembilan adalah angka keberuntungan. Ahai…. Jawaban yang menurutku rada – rada aneh. Seperti tukang ramal saja.) Kurasa gelang – gelang itu mengganggunya. Setiap akan menulis, ia musti
merapikan gelangnya.“Kamu malah seperti
rocker….”,sentilku. Puspa tertawa. Tidak keras. Penampilannya sama sekali bertolak belakang dengan kelembutannya. Sama sekali tidak cocok. Dan kala itu hanya Puspa yang bercutex. Hitam pula. Tetapi beberapa hari kemudian ia menghapusnya. Bukan atas kemauannya, tapi karena banyak guru
menegurnya.*
Hari
ini ia tidak masuk sekolah tanpa ijin. Juga kemarin. Mungkin ia malu karena selalu
kena tegur karena tampilannya itu. Informasi yang kuterima berbeda dengan pandanganku
padanya.
“sejak
SMP sudah sering bolos kok bu”, Tia memberi info.
“Teman
– temannya nggak beres lho bu”, tambah Maya.
“Nggak
beres bagaimana?”
“Ya
gitulah.... nggak anak sekolahan. Mungkin dia nggak sekolah lagi,bu”.
“Maksudnya?” Tia dan Maya saling pandang. Ketika istirahat mereka memberi
informasi yang membuatku hampir pingsan.
*
Bapaknya yang datang ketika sekolah memanggil orang
tuanya. Beliau ternyata masih seumurku. Anaknya sudah SMA, sementara
sulungku masih belajar di Sekolah Dasar.
“Sebenarnya aku tidak mengenal dengan baik anakku itu “, sang Bapak menerawang.,”
Akhir akhir ini memang ia sering ke rumah. Minta uang untuk beli buku. Kuusahakan
untuk selalu memenuhi permintaannya sebagai penebus dosaku.” Kepalaku mendadak
pusing dengan prolog yang membingungkan
ini.
“Puspa adalah anak yang tidak kami inginkan. Lina hamil ketika kami masih
kuliah semester dua. Orang tuanya tidak saja menolak keinginanku untuk bertanggung
jawab, tetapi mereka bahkan mengusirku dan tidak mengijinkan kami bertemu.
Hubungan kami terputus sama sekali. Sampai kemudian Puspa menemuiku. Ia minta
beaya untuk masuk SMA. Ternyata selama ini dia tinggal dengan eyangnya. Ia bahkan
hanya sekejap merasakan belaian mamanya karena tak lama setelah Puspa lahir,
Lina segera menikah dan pindah kota”.
“Benarkah berita tentang Puspa yang selama ini beredar?” tanyaku serak.Laki
– laki di depanku tampak menghela napas panjang,“Bisa jadi benar Bu...”. Aku
merasakan seputarku berkeliling.*
Siswa bantara pramuka mengadakan bakti sosial di desa
kaki gunung dengan kegiatan penanaman pohon buah - buahan di halaman rumah warga.Aku dan beberapa
guru ditugasi untuk mendampingi mereka. Daerah yang dingin menggigit, namun
menjamur hotel – hotel melati,“Ayolah jalan – jalan, jangan di rumah saja.Sembari
kita lihat suasana malamnya”, kata Pak Tino dengan tawa khasnya. Akhirnya kami
semua melawan dingin dengan memutari kawasan remang – remang. Inilah untuk pertama
kalinya aku melihat aquarium. Aku menangis melihat gadis – gadis muda di aquarium
itu. Ah sebutan yang menyakitkan. Wahai kalian penghuni aquarium akankah itu
kehendakmu?
Aku teringat Untung yang ingin jadi satpam hotel. Ia
memang berasal dari daerah sekitar sini. Pantas dia punya cita – cita seperti
itu. Kemeriahan dan kegemerlapan selalu memesona anak muda. Sebuah hotel tampak
ramai pengunjung. Aku berhenti agak lama. Kubiarkan teman – teman jalan duluan.
Toh hanya seputaran. Aku tidak bakal tersesat.
“Ibu….?” Seseorang berlari mendekat dan mencium tanganku. Oiii… ternyata
Untung. Sama sekali tidak kuduga bertemu dengannya sejak ia lulus dari sekolah
kami. Ia tampak gagah dengan seragam satpamnya.
“Ibu kok disini?... wah ntar dikira siapa lho bu, ada orang tua cari anaknya“,
godanyacengengesan. Kutarik rambutnya yang panjang, ”plisss… jangan di push
up bu”. Ealah ternyata ia masih ingat
hukuman yang kuberikan karena janjinya memendekkan rambut tidak juga terlaksana.
“Ramai sekali hotelmu”
“Pelayanan kami prima, bu”, lagaknya sok promosi.
“Gadis – gadis itu termasuk pelayanan prima?” tanyaku. Ia terbahak.
Sungguh jelek sekali tawanya. ”Pantas kamu ingin bekerja disini”. Untung mengajakku
minum kopi di resto itu. Antara keinginan menolak karena malu dan rasa penasaran
menjadi satu. Aku agak bergidik melihat suasananya. Juga pengapnya asap rokok. Untung
mestinya libur malam ini.
“Biasalah Bu, cari tips bawa tamu ….”.Ia bercerita banyak tentang alasan
gadis – gadis itu berada disini.Ternyata tidak semua karena faktor ekonomi. Ada
yang ingin bisa tampil mewah. Ada yang sakit hati ditinggal pacar atau dikhianati
suami. Dadaku sesak. Seberapa berat sebenarnya beban mereka sampai memutuskan
tinggal disini. Aku meyakini banyak pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan.
Sekelebatan kulihat pasangan meninggalkan ruangan. Sepertinya aku mengenal gadis
itu…Puspa- kah?
“Benar Bu, ia stok baru laris manis. Ibu mengenalnya? “. Mataku terasa
pedih oleh buliran air mata.
“Ia sempat jadi murid ibu sebentar. Kemudian menghilang. Bahkan ayahnyapun
tidak tahu ia kemana”.
“Ia tinggal bersamaku,Bu”
“Lhooo…..dia istrimu?” tanyaku kaget. Untung menggeleng,”Mana mau ia denganku
yang hitam jelek begini”.
Puspa datang ke hotel itu untuk mencari kerja.
Untung yang menemuinya.Namun bertolak belakang dengan wataknya yang suka
menggoda, Untung justru merasa kasihan setelah gadis itu bercerita banyak. Puspa
tidak ingin anaknya kehilangan kasih sayang seperti dirinya. Ia bilang tidak
punya siapa – siapa kecuali anaknya. Puspa memilih meninggalkan suaminya ketika
tahu suaminya telah memiliki istri. Ia harus bekerja untuk kehidupan mereka
berdua. Untung lantas mengajaknya ke rumah. Ibunya bahkan langsung menyayangi anak
Puspa, dan bersedia menjaganya selama Puspa bekerja.
“Sungguh mulia kalian”
“Tidak juga,bu. Kami hanya memberi tumpangan dari panas dan hujan. Ia
berbeda….”
“Jangan – jangan … diam – diam kamu jatuh cinta padanya”, Untung tertawa
lepas,” meski bekerja di tempat begini, aku ingin istri baik – baik. Ibu percaya
kalau aku masih perjaka?” Untung mengerling jenaka.
“Mbuh..”, jawabku kesal. *
Aku
tidak menduga Puspa mengundangku pada acara ulang tahun anaknya.Pasti Untung bercerita
tentang pertemuan kami. Puspa tidak malu menceritakan perjalanan hidupnya.
Meski selama ini ia bergaul dengan anak – anak yang tidak sekolahan, hura – hura
kesana kemari, tapi ia mampu menjaga
kesuciannya.(di titik ini, aku agak sulit mempercayai ceritanya). Sampai ia
ketemu Pak Bing, yang seusia ayahnya, yang menasehatinya untuk lepas dari teman
– temannya. Pak Bing yang kemudian menikahinya secara siri. Pak Bing yang
kemudian ia tinggalkan karena telah beristri. Ia memang bahagia bersama Pak
Bing, tapi ketika suatu sore bertemu
istri Pak Bing, Ia sungguh merasa bersalah dengan perempuan sebaik itu. Perempuan
seumur ibunya. Ibu yang selama ini kehadirannya
ia rindukan.
“Di hotel, aku hanya menemani pelanggan ngobrol, sesekali ikut minum, tapi
aku dalam kendali untuk tidak mabuk”. Ini titik kedua dimana aku lagi – lagi
sulit untuk mempercayainya.Untung yang duduk di sebelahnya memegang bahu Puspa.
Aku lihat ada cinta di mata mereka.
“Kami akan menikah, doakan kami…” Ya, witing
tresno jalaran saka kulina, mereka siap membuka lembaran baru. Tidak banyak
orang seperti Puspa, yang menyadari dan mau menerima masa lalunya. Tidak banyak
orang seperti Untung yang mau menerima pasangannya tanpa melihat masa lalunya.
(Untung mengabariku jika ia dipercaya
bosnya mengelola salah satu hotel, dan ia mengibarkan bendera sebagai hotel
bersih, yang pantas dikunjungi keluarga yang ingin merasakan alam pedesaan di
kaki gunung Ungaran.)
********
* witing tresno jalaran saka kulina
= rasa sayang ada karena seringnya bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar