Jumat, 30 Agustus 2019

Cermin 3


ARSYA YANG CANTIK….

Arsya memang cantik.Ditambah kemahirannya berbahasa Inggris membuat banyak orang terkagum – kagum.Namun entah mengapa,di hatiku paling dalam, aku tidak terlalu respek dengannya.Ini jelas respon yang amat buruk. Aku gurunya, mestinya mencintai semua murid dengan kadar sama.Tapi tidak untuk Arsya.Diam – diam aku tidak menyukainya. Ia terlambat masuk kelas kemarin.Ketika kutanya, ia menjawab santai. Habis dari kantin.Makan belum selesai.Sayang kalau ditinggal.Tanpa rasa bersalah.Dan ternyata ia melakukan hal yang sama pada beberapa pelajaran yang lain.Pelajaran yang tidak disukainya atau pada guru yang tidak disukainya?.
Ia memang aset sekolah. Beberapa kali membawa nama harum dari berbagai kejuaraan bahasa yang diikutinya.Di upacara hari Senin, namanya tersanjung. Namun menurutku, secara psikologis, ia tidak siap dengan sanjungan itu. Ia selalu berjalan tegak dengan dada membusung.
Tergopoh – gopoh dia masuk kelas.Langsung menuju tempat duduknya.Seperti biasa, ia terlambat lima belas menit.
“Darimana?”,tanyaku berusaha dengan nada rendah, meski darahku sudah sampai ke ubun – ubun. Pertanyaan yang tidak perlu sebenarnya, karena ia akan memberikan jawaban yang sama.
 “Bagaimana kalau kali ini kamu belajar di perpustakaan?Ibu beri beberapa soal yang harus dikerjakan”
“Tapi saya bisa ketinggalan pelajaran,Bu” bantahnya.
“Keterlambatanmu telah mengganggu teman yang lain.Dan wajar kalau Ibu harus memberimu hadiah atas keterlambatanmu kali ini”,kusodorkan beberapa soal,”kumpulkan istirahat nanti”. Arsya menerima bukuku dengan bersungut. Aku tidak ingin membedakan satu dengan yang lain. *

“Bu Alfa, ada tamu….”,Mbak Delta menyampaikan pesan.Mestinya dia tak perlu melakukan hal itu.Toh aku lagi mengajar.Sang tamu tentu harus menunggu sampai aku menyelesaikan tugasku.Setengah jam kemudian aku baru bisa menemuinya. Seorang perempuan cantik menungguku.
“Saya ibunya Arsya” ia memperkenalkan diri.
“Ada yang bisa saya bantu,Bu?”
“Kemarin dia pulang dengan menangis.Malu katanya dikeluarkan dari kelas pada saat jam Ibu”
“Saya memintanya belajar di perpustakaan.Dia sampaikan juga mengapa saya menyuruhnya demikian?”.
“Karena dia terlambat lima menit. Mengapa Ibu tidak memberinya toleransi?Kalau kantin penuh, wajar anak antre membayar kan?” perempuan di depanku menatapku lekat.
“Bukan lima menit Ibu.Tapi lima belas menit”, aku mengkoreksi ucapannya.Kubuka daftar presensiku.Kusampaikan keterlambatan yang telah dilakukannya. Aku meminta Mbak Delta memanggil Bu Ana,guru pembimbingnya.
“Bu Ana mungkin bisa menjelaskan lebih banyak”.Bu Ana memiliki rekaman seluruh siswa bimbingannya.Termasuk masalah –masalah yang dimiliki.Arsya hampir selalu terlambat masuk kelas setelah waktu istirahat habis.Dengan alasan yang sama.
“Kami baru akan memanggil Ibu, tapi terima kasih Ibu sudah rawuh duluan”,sambut Bu Ana ramah.
”saya sudah melakukan bimbingan padanya tiga kali.Ia juga sudah berjanji secara tertulis untuk tidak terlambat masuk kelas.Namun ternyata janji tinggal janji.Jika pada pelajaran tertentu, bisa jadi ia bermasalah dengan pelajaran itu atau dengan gurunya.Tapi ini hampir pada semua mata pelajaran.Saya mengamati di kelas, ia juga tidak begitu banyak bergaul dengan temannya. Mungkin lebih baik dia dipanggil saja untuk kita dengar penjelasannya”
Arsya datang (seperti biasa dengan bersungut.Tapi tetap saja terlihat cantik).Dia sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan Bu Ana.Kulihat Ibunya mulai jengkel.
“Dari awal aku sudah bilang kan ke Mama, aku tidak suka sekolah di sini.Aku ingin ke kota.Aku pasti bisa berprestasi lebih baik.Disini banyak anak desanya, sama sekali tidak ada tantangan” oi...oi,sombong sekali dia.Justru ketika ia bersekolah di Kabupaten, menjadi juara Kabupaten, dia berkesempatan maju ke tingkat Propinsi.Di kota belum tentu peluang itu ada.Persaingan tingkat kota demikian ketatnya.Ia yang pandai di kabupaten, bisa jadi bukan siapa – siapa di kota.Perempuan cantik di depanku tampak menahan marah.Kami tinggalkan mereka agar lebih leluasa berdialog.Ada satu pelajaran yang dapat kupetik. Apa yang kita tanam, maka itulah yang akan kita panen. Kita menanam jambu, maka kita akan memanen jambu, tidak mungkin memanen mangga. Jika kita menanam kebencian, maka kita akan memanen kebencian, juga sebalikya jika kita ramah, maka orang lain akan ramah dengan kita. Itulah hukum timbal balik.

Orang tidak dapat membaca pikiranku,tetapi mereka dapat melihat tindakanku.
Tindakan kita menegaskan diri kita sebagai pribadi.
Jika aku ingin orang memperlakukan diriku dengan baik,
Aku perlu bersikap menyenangkan mereka.*)

*) dinukil dari 40 pikiran beracun yang merusak hidup anda (Arnold
A.Lazarus,P.Hd dkk)

Selasa, 27 Agustus 2019

REVIEW RUMAH BELAJAR

https://youtu.be/uieBsOBpPbQ
MENGULAS RUMAH BELAJAR

Semangat pagi sahabat VCT, kesempatan kali ini saya akan mereview Rumah Belajar Kemdikbud.

Pertama akan saya ulas adalah  konten Sumber Belajar Matematika. Ada modul yang di sana masih menggunakan istilah SK KD sementara untuk kurikulum K13 istilahnya sudah KI- KD. Ada juga modul yang penulisannya langsung ke indicator. Disamping itu juga latihan matematikanya tidak bisa dibuka, sementara di mata pelajaran lain latihannya bisa dibuka. Saya menyarankan agar penulisan modul itu ada kaidah yang diseragamkan sehingga tampilannya lebih enak untuk dilihat.

Ulasan saya yang kedua di Rumah Belajar Kemdikbud ini tentang Bank Soal.  Saya membuka pada Evaluasi Mandiri Matematika kelas 12 disana tercampur dengan soal Kimia. Pada Evaluasi Umum tercampur mata pelajaran lain yaitu soal Fisika. Di situ juga tidak dipisahkan antara konten Matematika wajib dan Matematika peminatan. Meskipun di sana ditulis isi menjadi tanggung jawab si penulis tapi ketidaktelitian semacam ini menjadi tidak nyaman untuk diikuti,  dan secara tidak langsung merugikan Rumah Belajar karena kesan pertama sudah tidak menggoda. Saran saya perlu adanya kolaborasi dengan guru lain untuk meneliti kesesuaian materinya, demikian juga dari pihak Rumah Belajar menyiapkan tim sebagai editor supaya materi yang diunggah sudah betul-betul sempurna.

Demikian ulasan saya untuk Rumah Belajar Kemdikbud. Semoga ulasan yang sedikit ini bisa membuat Rumah Belajar menjadi lebih baik kedepannya, karena Rumah Belajar sangat membantu siswa khususnya yang secara ekonomi mungkin tidak dapat mengikuti bimbingan belajar berbayar maka Rumah Belajar ini akan menjadi alternatif. 

 
Salam,
Ani Taruastuti
SMA Negeri  I Ungaran


Minggu, 25 Agustus 2019

Cermin 2


MAAFKAN IBU, NAK !

Aku tergugu tak mampu berkata. Algebra murid terkasihku semakin tertunduk dengan buliran air mata yang menderas. Ingin aku bertanya lebih jauh, tapi tak kuasa.
“Sudahkah orang tuamu tahu?”, tanyaku akhirnya. Algebra menggeleng,    “ Mama pasti sangat kecewa. Ujian tinggal sebentar lagi”.
“ Tanpa kau beritahu, Beliau tetap akan tahu. Apakah kamu ingin Ibu yang bicara ?”. Algebra menatapku. Aku mengelus rambut hitam panjangnya.
Gebra tergolong pendiam. Dia juga sepertinya tidak punya teman akrab di kelas. Saat istirahat, yang lain lari ke kantin, ia memilih membuka bekal yang dibawa dari rumah. Ia juga bukan orang yang mudah menunjukkan ekspresinya. Ketika pelajaran olah raga dan mereka tertawa terbahak – bahak karena Rudi terjengkang – jengkang karena menyelamatkan bola saat bermain volley, Gebra hanya tersenyum secukupnya. Maka apa yang terjadi padanya, sungguh sulit kumengerti. Kevin adalah temannya dari kecil. Mereka tinggal sekompleks, dan baru berpisah sekolah saat SMA ini. Kevin pintar, sehingga ia memilih melanjutkan ke kota.  Mama Gebra mengenalnya dengan baik dan tidak jarang meminta Kevin menemani anaknya jika ia harus pulang terlambat. Menurut Gebra, Kevin mengajarinya bagaimana menghafal pelajaran sejarah secara cepat. Ya, Kevin membuat gambar – gambar yang saling terkait. Materi teks dipindahkannya secara visual. Kevin juga mempunyai mnemonic lucu – lucu untuk mengingat rumus rumus kimia. Diam – diam Gebra mengagumi temannya ini. *
            Di depanku telah duduk perempuan dengan usia jauh di atasku. Tapi tetap cantik. Meski begitu, gurat kelelahan tidak mampu disembunyikan. Mama Algebra sudah dua tahun ini menjadi single parent. Suaminya meninggal karena sakit. Kesukaannya menjahit yang kemudian menghidupi mereka. Jahitannya sungguh halus, dan tidak disangka banyak ibu pejabat yang menyukainya. Kini Mama Algebra punya butik dengan beberapa karyawan.
“Ada beberapa pilihan yang bisa diambil, Bu. Algebra bisa ambil cuti sakit dan tahun depan mengulang kembali. Namun tentu faktor psikologis yang ia dapat sangat besar. Pilihan kedua, Ibu memintakan ia pindah. Algebra dapat mengikuti ujian Paket C di tahun yang sama”.
Mama Algebra terus menangis. Tapi ia menolak sapu tangan yang kusodorkan. Sore itu, kami berpisah. Dengan kegalauan yang sama.
*
            Ujian telah berlangsung.Algebra memutuskan keluar.Waktu itu mamanya datang,tapi tidak mampu bercerita banyak.
“Yang jelas, saya tidak mengijinkan mereka menikah dini”. Aku ingin bertanya, bagaimana dengan anak yang dikandung Algebra.  Tapi aku merasa, pertanyaan itu terlalu jauh. Algebra juga tidak pernah menghubungiku. Murid terkasihku, begitu besar kesedihan yang harus kau tanggung. Dan siang tadi, kejutan datang. Algebra menelponku. Setelah lima bulan tanpa berita.
“ Ibu, maukah menungguku melahirkan?” ada suara cemas disana.
“ Engkau dimana?”
“ Di tempat Nenek”
            Perjalanan ini menempuh waktu empat jam. Seharusnya cukup dua sampai dua setengah jam. Rob Semarang utara sungguh parah. Travel yang kutumpangi terpaksa memutar melalui daerah Bangetayu, jalannya sempit,dan para pengendara sepeda motor  yang tidak tertib, membuat sopir travel beberapa kali menggerundel. Memasuki kota Demak,pemandangan jajaran pohon trembesi yang indah sedikit mengurangi kantukku. Bocah di sebelahkupun tampak gembira menikmati perjalanan ini. Beberapa kali ia bertanya pada bundanya tentang pohon – pohon di pinggir jalan.   Perasaanku teraduk – aduk. Kelucuan bocah ini membuatku ingin segera bertemu Gebra. Aku belum menikah. Tapi aku sungguh panik dengan kehamilan Algebra ini. Aku seperti seorang nenek yang akan mendapat cucu pertama. Aku langsung menuju rumah sakit. Dokter memperkirakan ia melahirkan malam ini. Benar saja, di ruang tunggu sudah ada beberapa orang. Selain Mama Algebra, ada seorang tua yang kuperkirakan neneknya. Juga sepasang suami istri.
“Kenalkan,ini kakak suami saya.Kebetulan tinggal di dekat sini“.Kami saling bersalaman.Tangan mereka dingin.Sama dengan tanganku.Kami punya kecemasan yang sama.Ruang dokter terbuka.
“Apakah gurunya sudah datang?”. Aku tergopoh menghampiri.
“Algebra ingin berbincang dengan anda, sambil menunggu proses kelahiran yang mungkin sekitar satu dua jam lagi”, Aku menatap Mama Algebra untuk memohon ijin.
           
Di bed putih,murid terkasihku tampak sudah menunggu.
“ Ibu…pasti capek sekali perjalanannya ya” Ia sedikit meringis kesakitan.
“Kata dokter bayiku laki – laki….” Ia mengusap perutnya yang besar dengan bahagia. Aku tak bisa berkata. “tapi ia segera menjadi milik Budhe...”. Algebra terbata. Aku menggenggam tangannya.
“Aku mulai mencintainya, Bu”, ia mengusap perutnya lagi, ”Tapi aku tidak lupa dengan cita – citaku”. Algebra sungguh ingin jadi dokter. Ia belajar keras, namun kejadian tak diinginkan telah terjadi.
“Sungguh bodoh ketika Kalvin sering memujiku,aku seperti terlempar ke langit biru yang indah.Dan semuanya membuyarkan impianku. Seperti saran Ibu, aku akhirnya jujur sama Mama.Kami bicara banyak. Mama tidak ingin aku menikah.Akupun tidak pernah berpikir untuk menikah.Kami adalah anak anak bau kencur yang salah arah.Dia pasti juga memiliki beban yang tak kalah beratnya.Kevin juga punya impian akan masa depannya”.Gebra menyibakkan rambutnya, matanya berkaca -  kaca menerawang jauh.
“Budhe yang akan merawat bayiku,Bu. Beliau pernah punya anak.Tapi meninggal ketika baru berumur beberapa minggu.Aku bahagia karena punya keluarga besar yang menyayangiku, meski aku telah menyusahkan mereka. Aku juga berterima kasih pada Ibu karena telah membuatku senang matematika. Kata Dokter Alfa, kalau ingin jadi dokter harus bagus nilai matematikanya” Algebra kembali meringis.
“ Mungkin sudah waktunya Bu. Bisa minta tolong dipanggilkan Suster?”.
*
Tak lama terdengar tangis bayi yang gagah. Algebra mencium lama kening anaknya.
“Maafkan Ibu, Nak. Bukan karena tak mau merawatmu. Tapi ini demi kebaikan kita bersama. Doakan Mamamu ini bisa jadi dokter. Kelak kita pasti akan bersama.....”
            Aku menutup catatanku, berharap Gebra dapat meraih cita – citanya. Berharap ia tidak melupakan anaknya.  Berharap murid – murid perempuanku lebih berhati – hati dalam bergaul, karena jika terjadi seperti Gebra, maka perempuanlah yang sangat rugi. Tertunda impian, atau bahkan harus membuang impian masa depan. Anak – anak yang sudah kita didik dengan baik, tetap harus selalu dalam pendampingan, karena kehidupan adalah belantara.
******
Mnemonic = alat bantu mengingat,  bisa berupa singkatan- singkatan yang mudah dihafal. Sebagai contoh, mnemonic pada matematika yang sangat dikenali siswa adalah cosami, sindemi dan tandesa untuk menunjukkan perbandingan sisi – sisi pada segitiga siku – siku.

Artikel : Penyelesaian soal Hotsmath


PENYELESAIAN SOAL HOTSMATH DENGAN PBL



Tantangan abad 21 menjadi berat karena perkembangan dunia yang sangat cepat dan dinamis. Untuk meraih kesuksesan, maka peserta didik wajib dibekali dengan kemampuan softskill, yang salah satunya adalah berpikir kritis dan penyelesaian masalah. Pembelajaran hendaknya mampu menghubungkan masalah kontekstual kekinian, sehingga adanya kedekatan masalah nyata dengan peserta didik akan membuat peserta didik menyadari pentingnya menggunakan kemampuan bernalarnya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Oleh karenanya perlu dikembangkan instrumen untuk mengukur keterampilan berpikir yang tidak sekedar mengingat, memahami dan menerapkan kompetensi yang didapat (kognisi level satu dan dua) , namun perlu diajarkan kemampuan berpikir kritis dan logis. Instrumen ketrampilan berpikir kritis logis ini (kognisi level tiga) seringkali disebut dengan Higher-order thinking skills (HOTS). Salah satu ciri soal HOTS adalah bukan soal yang rutin, sehingga penyelesaiannya tidak menggunakan hafalan langkah penyelesaian, tetapi menggunakan penalaran. 
Beberapa soal pada Ujian Nasional Matematika SMA tahun 2018 telah mengembangkan keterampilan bernalar. Keterampilan yang bisa jadi belum terbiasa dilatihkan Guru sehingga UN 2018 menimbulkan keluhan dari banyak peserta ujian. Mari kita lihat salah satu soal tersebut terkait dengan bahasan barisan geometri. Setiap tahun harga jual tanah di sebuah komplek perumahan mengalami kenaikan 25% dari tahun sebelumnya, sedangkan harga jual bangunannya mengalami penurunan 10% dari tahun sebelumnya. Harga jual sebuah rumah (tanah dan bangunan) di komplek tersebut saat ini adalah 490 juta rupiah dengan perbandingan harga jual tanah terhadap bangunan adalah 4:3. Tentukan harga jual rumah tersebut 10 tahun mendatang.  
Soal tersebut bukan soal rutin. Soal UN sebelumnya hanya membahas satu aspek saja. Harga tanah saja atau harga bangunan saja, tetapi di UN 2018 ini, selain menyangkut dua aspek yaitu tanah dan bangunan, ditambahkan aspek lain yaitu perbandingan keduanya. Pendekatan dengan Problem Based Learning (PBL) akan sangat membantu menyelesaikan soal HOTS.
Karakteristik PBL (http://guraru.org/guru-berbagi/apa-itu-problem-based-learning/) yang pertama adalah  belajar harus dimulai dengan permasalahan, ini sudah sejalan dengan ciri soal HOTS, kedua memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata. Kita lihat soal UN di atas, masalah jual beli adalah hal yang sering dijumpai. Ketiga, mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, guru membimbing peserta didik mengorganisasi konsep – konsep yang dibutuhkan yaitu konsep suku ke-n barisan geometri dengan rasio lebih dari satu untuk masalah tanah dan rasio kurang dari satu untuk masalah bangunan. Disamping itu juga konsep perbandingan sehingga diperoleh harga saat ini untuk masing – masing aspek. Perlu kehati – hatian ketika menentukan suku pertama dari masalah tersebut terkait kalimat 10 tahun mendatang  pada soal. Keempat, memberikan tanggung jawab yang besar kepada peserta didik dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajarnya. Guru harus menahan diri untuk tidak menuangkan pengetahuan ke peserta didik, karena kepala mereka bukanlah wadah kosong. Pengajaran bukan merupakan penumpukan memori, tetapi rangkaian konsep- konsep yang saling terhubung, dan agar efektif peserta didik berdiskusi dalam kelompok – kelompok kecil. Namun demikian, guru harus waspada ketika peserta didik tampak frustasi karena belum mampu memecahkan masalah sehingga justru kontraproduktif dengan terbuangnya waktu. Pada titik ini, guru harus mampu memberikan kail yang lain agar peserta didik tetap mampu menangkap ikan sendiri. Tahap terakhir, setiap peserta didik harus mampu mengkomunikasikan hasilnya, untuk selanjutnya hasil tersebut dikritisi oleh teman atau guru.
Melatih peserta didik secara terus menerus dalam pemecahan masalah sejalan dengan pendapat Jerome Bruner (http://digilib.uinsby.ac.id/8078/5/Bab2.pdf) bahwa orang yang berpengetahuan itu sebagai seseorang yang terampil dalam memecahkan masalah, artinya yang bersangkutan berinteraksi dengan lingkungan dalam menguji hipotesisnya dan menarik kesimpulan secara umum atau melakukan generalisasi. Karena itu, tujuan pendidikan seharusnya terjadinya perkembangan intelektualitas. Selanjutnya, tugas kurikulum adalah mendidik pengembangan penyelidikan (inkuiri)  serta penemuan (discovery). Hal ini harus berhasil dilaksanakan, tidak semata agar tidak terjadi lagi peserta ujian yang mengeluhkan soal UN, namun juga siap menghadapi tantangan abad 21.  

Sabtu, 24 Agustus 2019

Cermin 1


JANGAN PERGI….

Teta menatap ruangan yang menurutnya demikian luas. Kamar tidurnya ! Luasnya bisa dua kali dari kamar di rumahnya. Itupun untuk tidur berempat. Selain dirinya, juga Ibu dan kedua adiknya. Sekarang, seluas ini ia tempati sendiri. Semuanya seperti mimpi. Diawali dari mimpinya melanjutkan sekolah  ke kota. Disana ada sekolah favorit, dengan fasilitas teknologi yang sangat memadai.
“ Bukannya ibu tidak ingin engkau pintar, Nak. Tapi uang yang bisa ibu berikan paling – paling hanya cukup untuk ongkos transport ”. Teta tertunduk, tapi harapannya tidak pupus..
 “ Sekolah pasti menyediakan beasiswa Bu. Aku akan belajar yang rajin agar mendapatkannya ”. Dan mimpi itu diwujudkanya. Ia diterima di sekolah favorit, namun dalam beberapa bulan ia sudah terengah – engah.

Benar kata Ibu, uang sakunya hanya cukup untuk naik bus. Ia sudah tidak jajan. Buku pelajaranpun banyak yang ia pinjam dari perpustakaan. Ia merasa sudah setengah mati, namun ternyata banyak pengeluaran ekstra yang tak ia duga. Fotocopy ini itu, iuran ini itu. Ini bukan tempat yang tepat untukku, desisnya. Ia teringat nasib Bu Intan, guru PAUD di kampungnya. Bu Intan benar -  benar intan di desanya. Ia pintar.Tapi seperti dirinya,beliau juga berasal dari keluarga miskin yang tidak mampu menyekolahkan tinggi – tinggi. Dan Bu Intan akhirnya memilih mencerdaskan belia, mengubur impian insinyurnya.
“ Aku dulu ingin jadi sarjana pertanian,Ta. Biar bisa kuajari petani dengan teknologi, agar hasilnya bagus, dan kita bisa sejajar dengan para tengkulak yang selama ini mendikte kita. Yang sering mengatakan produksi petani kita kurang bagus, ujung – ujungnya hanya akan membeli dengan harga rendah ”. Teta bukanlah Intan. Ia tidak mau menyerah dengan keadaan. Ia putuskan harus sekolah ke kota, keluar dari desanya. Tapi ia hampir putus asa.
“ Mengapa melamun?” tegur Bu Ana. Teta gelagapan, “ kamu tidak bisa berbohong, Nak. Bicaralah....”.
Dan inilah mimpi keduanya. Bu Ana mengajaknya tinggal di rumah beliau yang hanya berjarak puluhan meter dari sekolah. Putra beliau cuma satu, kuliah di Yogya. Bu Ana selalu pulang sore dari mengajar. Suaminya yang dosen hampir selalu Magrib baru sampai rumah. Hanya ada dirinya dan Bik Yati. Ia menemukan pengganti Ibu pada diri  Bik Yati yang selalu menyemangatinya belajar. *

Teta sedang menyiram tanaman ketika ada ketukan di pagar. Ia sangat terkejut melihat siapa yang datang. Ia mengenalinya. Foto besar Kak Gamma memang menghiasai ruang tengah.
“ Pembantu baru? ” tanya Gamma dengan suara datar membuat Teta gelagapan. Ia hanya mengangguk, dan cepat – cepat mengambil selang airnya.
.” Hei… buatkan kopi dulu ” Gamma memandangnya tajam. Membuat kopi? Oh....ia tidak pernah melakukannya. Ayahnya sudah meninggal ketika ia masih kecil. Ia tidak memiliki kesempatan membuat kopi untuk ayahnya. Ketika ia kebingungan dengan takaran yang harus dibuat, Bik Yati mengambil alih tugasnya.
 “ Mas Gamma suka kalau kopinya agak pahit ”, bisik Bik Yati. Teta tidak pernah menduga akan bertemu makhluk seketus itu. Gamma tidak pernah bermuka ramah ketika mereka berpapasan, membuat Teta salah tingkah untuk menyapanya. Ia seenaknya memerintah,meski Teta sedang  belajar. Kuliah Gamma tinggal tahap – tahap akhir. Ia mulai merintis bisnis kecil – kecilan. Kamar depan telah direnovasi menjadi ruang kantornya.
Dan malam itu tidak pernah dilupakannya. Ia harus belajar karena ada ulangan fisika. Ia sungguh lupa membuat kopi pahit kesukaan Gamma.
 “ Kamu pikir disini bisa tinggal gratis? ” tegur Gamma. Tetap dengan suara datarnya. Teta membawa tangisnya dihadapan Umi dan Abah.
 “ Ijinkan Teta tinggal di sini, Umi. Mengajar adik – adik mengaji ". Keluarga Abah tinggal di belakang mesjid. Selalu ramai karena ada delapan anak yatim yang diasuh Abah. Teta menceritakan semua masalahnya.
 “ Saya sudah tahu diri, Abah. Saya juga mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi saya juga ingin waktu belajar saya dihargai karena saya ke kota ini untuk belajar. Nilai saya harus tetap bagus agar bea siswa tidak dicabut ”. Teta memutuskan pamit baik – baik kepada Bu Ana. Mesjid itu memang tidak jauh dari rumah beliau.
 “ Saya akan mengajar mengaji adik – adik disana, Bu. Sekaligus saya juga belajar ilmu agama sama Umi dan Abah ”.
*
Sudah seminggu Teta tinggal dengan keluarga besarnya. Ia sungguh bahagia. Setiap sore bersama Umi, ia memandikan adik - adiknya yang masih balita. Kemudian mengaji bersama. Seperti sore ini, Rahman sudah rapi dengan baju kokonya. Ia tampak bersemangat karena Abah mengatakan ia sudah lulus membaca Iqra jilid empat. Ia segera bergabung dengan teman – temannya yang akan mendengarkan Teta menceritakan kebiasaan – kebiasaan Nabi yang harus mereka teladani seperti misalnya Nabi menutup wajahnya dengan baju atau dengan tangan jika bersin.
“ Adakah diantara kalian yang pernah saling diam karena sebal atau jengkel? ”. Beberapa anak saling pandang. Rini mengacungkan jarinya.
Aku marah sama Bayu,kak. Pensilku kemarin dihilangkannya. Bukannya minta maaf, dia malah mengatakan pensilku sudah pendek, sudah nggak bisa dipakai ”
“ Lhah..memang iya pensilmu sudah jelek “ ejek Bayu. Teta minta keduanya tidak bertengkar dan  mengingat pesan Nabi.
“ Tidak boleh kalian memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Apalagi saling berpaling. Yang terbaik adalah memulai mengucapkan salam.  Rin, orang kuat bukanlah orang yang menang bergulat tapi orang yang dapat menahan diri ketika marah ”. Ada beberapa kebiasaan Nabi yang Teta tekankan pada adik – adiknya. Jangan lupa menyebut nama Allah jika memulai makan, juga selalu berusaha untuk shalat berjamaah.

“ Ada tamu mencarimu ”, kata Abah. Dahi Teta berkerut. Tamu ? Ah.. yang suka mencarinya hanya Bik Yati, dan Abah sudah mengenalnya. Bik Yati sering membawa jajanan kemari. Olahan hasil kebun. Kalau ada pisang, Bik Yati akan menggorengnya, atau dibuat nagasari. Kalau panen singkong, macam – macam olahannya. Sawut, sentiling atau lemet. Ia pernah membantu Bik Yati membuat gethuk ubi jalar. Pegal juga ia menumbuknya. Bik Yati tertawa ketika ia menghabiskan 4 potong gethuk sekaligus. Tamu itu tentu bukan Bik Yati. Teta terperanjat menjumpai Gamma di teras.
” Mengapa pergi tidak pamit? ” tuduh Gamma membuat Teta ingin marah. Ia berhak menentukan kehidupannya, hidup demi cita – citnya.Tapi ia mencoba sabar.
” Saya sudah sampaikan hal ini ke Ibu ”. Gamma menatapnya.  
“ Kamu pamit kepada Ibu dan Ayah, bahkan kepada Bik Yati, tetapi mengapa tidak pamit kepada kakakmu? ” . Teta tergagap. Kakak ?.
“ Maksud Kak Gamma? ”
“ Ta, kamu adalah adikku. Mungkin aku memang kasar dan tidak ramah karena aku terbiasa sendiri. Tapi begitu kamu pergi, aku baru menyadari artinya kehilangan saudara. Aku rindu suara mengajimu, Ta.” Teta seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“ Kamu kan ingin jadi sarjana teknik “, hmmm… ini pasti Bik Yati yang cerita,
“ Matematika dan fisikamu  harus bagus. Dan jelek –jelek begini, kakakmu ini ahlinya,” Gamma menjentikkan jarinya. Teta masih terpana. 
“ Aku juga rindu dengan kopi pahitmu yang seringkali terlalu pahit. Pasti kamu sengaja....”

* * * * * *
Bahwa kemiskinan tidak bisa dijadikan alasan seseorang gagal meraih cita – cita, karena pasti selalu ada jalan.

Artikel Tugas Proyek Statistika