Minggu, 25 Agustus 2019

Cermin 2


MAAFKAN IBU, NAK !

Aku tergugu tak mampu berkata. Algebra murid terkasihku semakin tertunduk dengan buliran air mata yang menderas. Ingin aku bertanya lebih jauh, tapi tak kuasa.
“Sudahkah orang tuamu tahu?”, tanyaku akhirnya. Algebra menggeleng,    “ Mama pasti sangat kecewa. Ujian tinggal sebentar lagi”.
“ Tanpa kau beritahu, Beliau tetap akan tahu. Apakah kamu ingin Ibu yang bicara ?”. Algebra menatapku. Aku mengelus rambut hitam panjangnya.
Gebra tergolong pendiam. Dia juga sepertinya tidak punya teman akrab di kelas. Saat istirahat, yang lain lari ke kantin, ia memilih membuka bekal yang dibawa dari rumah. Ia juga bukan orang yang mudah menunjukkan ekspresinya. Ketika pelajaran olah raga dan mereka tertawa terbahak – bahak karena Rudi terjengkang – jengkang karena menyelamatkan bola saat bermain volley, Gebra hanya tersenyum secukupnya. Maka apa yang terjadi padanya, sungguh sulit kumengerti. Kevin adalah temannya dari kecil. Mereka tinggal sekompleks, dan baru berpisah sekolah saat SMA ini. Kevin pintar, sehingga ia memilih melanjutkan ke kota.  Mama Gebra mengenalnya dengan baik dan tidak jarang meminta Kevin menemani anaknya jika ia harus pulang terlambat. Menurut Gebra, Kevin mengajarinya bagaimana menghafal pelajaran sejarah secara cepat. Ya, Kevin membuat gambar – gambar yang saling terkait. Materi teks dipindahkannya secara visual. Kevin juga mempunyai mnemonic lucu – lucu untuk mengingat rumus rumus kimia. Diam – diam Gebra mengagumi temannya ini. *
            Di depanku telah duduk perempuan dengan usia jauh di atasku. Tapi tetap cantik. Meski begitu, gurat kelelahan tidak mampu disembunyikan. Mama Algebra sudah dua tahun ini menjadi single parent. Suaminya meninggal karena sakit. Kesukaannya menjahit yang kemudian menghidupi mereka. Jahitannya sungguh halus, dan tidak disangka banyak ibu pejabat yang menyukainya. Kini Mama Algebra punya butik dengan beberapa karyawan.
“Ada beberapa pilihan yang bisa diambil, Bu. Algebra bisa ambil cuti sakit dan tahun depan mengulang kembali. Namun tentu faktor psikologis yang ia dapat sangat besar. Pilihan kedua, Ibu memintakan ia pindah. Algebra dapat mengikuti ujian Paket C di tahun yang sama”.
Mama Algebra terus menangis. Tapi ia menolak sapu tangan yang kusodorkan. Sore itu, kami berpisah. Dengan kegalauan yang sama.
*
            Ujian telah berlangsung.Algebra memutuskan keluar.Waktu itu mamanya datang,tapi tidak mampu bercerita banyak.
“Yang jelas, saya tidak mengijinkan mereka menikah dini”. Aku ingin bertanya, bagaimana dengan anak yang dikandung Algebra.  Tapi aku merasa, pertanyaan itu terlalu jauh. Algebra juga tidak pernah menghubungiku. Murid terkasihku, begitu besar kesedihan yang harus kau tanggung. Dan siang tadi, kejutan datang. Algebra menelponku. Setelah lima bulan tanpa berita.
“ Ibu, maukah menungguku melahirkan?” ada suara cemas disana.
“ Engkau dimana?”
“ Di tempat Nenek”
            Perjalanan ini menempuh waktu empat jam. Seharusnya cukup dua sampai dua setengah jam. Rob Semarang utara sungguh parah. Travel yang kutumpangi terpaksa memutar melalui daerah Bangetayu, jalannya sempit,dan para pengendara sepeda motor  yang tidak tertib, membuat sopir travel beberapa kali menggerundel. Memasuki kota Demak,pemandangan jajaran pohon trembesi yang indah sedikit mengurangi kantukku. Bocah di sebelahkupun tampak gembira menikmati perjalanan ini. Beberapa kali ia bertanya pada bundanya tentang pohon – pohon di pinggir jalan.   Perasaanku teraduk – aduk. Kelucuan bocah ini membuatku ingin segera bertemu Gebra. Aku belum menikah. Tapi aku sungguh panik dengan kehamilan Algebra ini. Aku seperti seorang nenek yang akan mendapat cucu pertama. Aku langsung menuju rumah sakit. Dokter memperkirakan ia melahirkan malam ini. Benar saja, di ruang tunggu sudah ada beberapa orang. Selain Mama Algebra, ada seorang tua yang kuperkirakan neneknya. Juga sepasang suami istri.
“Kenalkan,ini kakak suami saya.Kebetulan tinggal di dekat sini“.Kami saling bersalaman.Tangan mereka dingin.Sama dengan tanganku.Kami punya kecemasan yang sama.Ruang dokter terbuka.
“Apakah gurunya sudah datang?”. Aku tergopoh menghampiri.
“Algebra ingin berbincang dengan anda, sambil menunggu proses kelahiran yang mungkin sekitar satu dua jam lagi”, Aku menatap Mama Algebra untuk memohon ijin.
           
Di bed putih,murid terkasihku tampak sudah menunggu.
“ Ibu…pasti capek sekali perjalanannya ya” Ia sedikit meringis kesakitan.
“Kata dokter bayiku laki – laki….” Ia mengusap perutnya yang besar dengan bahagia. Aku tak bisa berkata. “tapi ia segera menjadi milik Budhe...”. Algebra terbata. Aku menggenggam tangannya.
“Aku mulai mencintainya, Bu”, ia mengusap perutnya lagi, ”Tapi aku tidak lupa dengan cita – citaku”. Algebra sungguh ingin jadi dokter. Ia belajar keras, namun kejadian tak diinginkan telah terjadi.
“Sungguh bodoh ketika Kalvin sering memujiku,aku seperti terlempar ke langit biru yang indah.Dan semuanya membuyarkan impianku. Seperti saran Ibu, aku akhirnya jujur sama Mama.Kami bicara banyak. Mama tidak ingin aku menikah.Akupun tidak pernah berpikir untuk menikah.Kami adalah anak anak bau kencur yang salah arah.Dia pasti juga memiliki beban yang tak kalah beratnya.Kevin juga punya impian akan masa depannya”.Gebra menyibakkan rambutnya, matanya berkaca -  kaca menerawang jauh.
“Budhe yang akan merawat bayiku,Bu. Beliau pernah punya anak.Tapi meninggal ketika baru berumur beberapa minggu.Aku bahagia karena punya keluarga besar yang menyayangiku, meski aku telah menyusahkan mereka. Aku juga berterima kasih pada Ibu karena telah membuatku senang matematika. Kata Dokter Alfa, kalau ingin jadi dokter harus bagus nilai matematikanya” Algebra kembali meringis.
“ Mungkin sudah waktunya Bu. Bisa minta tolong dipanggilkan Suster?”.
*
Tak lama terdengar tangis bayi yang gagah. Algebra mencium lama kening anaknya.
“Maafkan Ibu, Nak. Bukan karena tak mau merawatmu. Tapi ini demi kebaikan kita bersama. Doakan Mamamu ini bisa jadi dokter. Kelak kita pasti akan bersama.....”
            Aku menutup catatanku, berharap Gebra dapat meraih cita – citanya. Berharap ia tidak melupakan anaknya.  Berharap murid – murid perempuanku lebih berhati – hati dalam bergaul, karena jika terjadi seperti Gebra, maka perempuanlah yang sangat rugi. Tertunda impian, atau bahkan harus membuang impian masa depan. Anak – anak yang sudah kita didik dengan baik, tetap harus selalu dalam pendampingan, karena kehidupan adalah belantara.
******
Mnemonic = alat bantu mengingat,  bisa berupa singkatan- singkatan yang mudah dihafal. Sebagai contoh, mnemonic pada matematika yang sangat dikenali siswa adalah cosami, sindemi dan tandesa untuk menunjukkan perbandingan sisi – sisi pada segitiga siku – siku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Tugas Proyek Statistika