MAAFKAN IBU, NAK !
Aku tergugu tak mampu berkata. Algebra
murid terkasihku semakin tertunduk dengan buliran air mata yang menderas. Ingin
aku bertanya lebih jauh, tapi tak kuasa.
“Sudahkah orang tuamu tahu?”, tanyaku
akhirnya. Algebra menggeleng,
“ Mama pasti sangat kecewa. Ujian
tinggal sebentar lagi”.
“
Tanpa kau beritahu, Beliau tetap akan tahu. Apakah kamu ingin Ibu yang bicara ?”.
Algebra menatapku. Aku mengelus rambut hitam panjangnya.
Gebra
tergolong pendiam. Dia juga sepertinya tidak punya teman akrab di kelas. Saat
istirahat, yang lain lari ke kantin, ia memilih membuka bekal yang dibawa dari
rumah. Ia juga bukan orang yang mudah menunjukkan ekspresinya. Ketika pelajaran
olah raga dan mereka tertawa terbahak – bahak karena Rudi terjengkang –
jengkang karena menyelamatkan bola saat bermain volley, Gebra hanya tersenyum
secukupnya. Maka apa yang terjadi padanya, sungguh sulit kumengerti. Kevin
adalah temannya dari kecil. Mereka tinggal sekompleks, dan baru berpisah
sekolah saat SMA ini. Kevin pintar, sehingga ia memilih melanjutkan ke
kota. Mama Gebra mengenalnya dengan baik
dan tidak jarang meminta Kevin menemani anaknya jika ia harus pulang terlambat.
Menurut Gebra, Kevin mengajarinya bagaimana menghafal pelajaran sejarah secara
cepat. Ya, Kevin membuat gambar – gambar yang saling terkait. Materi teks
dipindahkannya secara visual. Kevin juga mempunyai mnemonic lucu – lucu untuk mengingat rumus rumus kimia. Diam – diam
Gebra mengagumi temannya ini. *
Di depanku telah duduk perempuan dengan
usia jauh di atasku. Tapi tetap cantik. Meski begitu, gurat kelelahan tidak mampu
disembunyikan. Mama Algebra sudah dua tahun ini menjadi single parent. Suaminya
meninggal karena sakit. Kesukaannya menjahit yang kemudian menghidupi mereka. Jahitannya
sungguh halus, dan tidak disangka banyak ibu pejabat yang menyukainya. Kini
Mama Algebra punya butik dengan beberapa karyawan.
“Ada
beberapa pilihan yang bisa diambil, Bu. Algebra bisa ambil cuti sakit dan tahun
depan mengulang kembali. Namun tentu faktor psikologis yang ia dapat sangat
besar. Pilihan kedua, Ibu memintakan ia pindah. Algebra dapat mengikuti ujian
Paket C di tahun yang sama”.
Mama
Algebra terus menangis. Tapi ia menolak sapu tangan yang kusodorkan. Sore itu,
kami berpisah. Dengan kegalauan yang sama.
*
Ujian telah berlangsung.Algebra
memutuskan keluar.Waktu itu mamanya datang,tapi tidak mampu bercerita banyak.
“Yang jelas, saya tidak mengijinkan mereka menikah dini”. Aku ingin
bertanya, bagaimana dengan anak yang dikandung Algebra. Tapi aku merasa, pertanyaan itu terlalu jauh.
Algebra juga tidak pernah menghubungiku. Murid terkasihku, begitu besar
kesedihan yang harus kau tanggung. Dan siang tadi, kejutan datang. Algebra
menelponku. Setelah lima bulan tanpa berita.
“
Ibu, maukah menungguku melahirkan?” ada suara cemas disana.
“
Engkau dimana?”
“ Di
tempat Nenek”
Perjalanan ini menempuh waktu empat
jam. Seharusnya cukup dua sampai dua setengah jam. Rob Semarang utara sungguh
parah. Travel yang kutumpangi terpaksa memutar melalui daerah Bangetayu, jalannya
sempit,dan para pengendara sepeda motor yang tidak tertib, membuat sopir travel beberapa
kali menggerundel. Memasuki kota Demak,pemandangan jajaran pohon trembesi yang
indah sedikit mengurangi kantukku. Bocah di sebelahkupun tampak gembira menikmati
perjalanan ini. Beberapa kali ia bertanya pada bundanya tentang pohon – pohon
di pinggir jalan. Perasaanku teraduk –
aduk. Kelucuan bocah ini membuatku ingin segera bertemu Gebra. Aku belum
menikah. Tapi aku sungguh panik dengan kehamilan Algebra ini. Aku seperti
seorang nenek yang akan mendapat cucu pertama. Aku langsung menuju rumah sakit.
Dokter memperkirakan ia melahirkan malam ini. Benar saja, di ruang tunggu sudah
ada beberapa orang. Selain Mama Algebra, ada seorang tua yang kuperkirakan neneknya.
Juga sepasang suami istri.
“Kenalkan,ini kakak suami saya.Kebetulan
tinggal di dekat sini“.Kami saling bersalaman.Tangan mereka dingin.Sama dengan
tanganku.Kami punya kecemasan yang sama.Ruang dokter terbuka.
“Apakah gurunya sudah datang?”. Aku tergopoh
menghampiri.
“Algebra ingin berbincang dengan anda,
sambil menunggu proses kelahiran yang mungkin sekitar satu dua jam lagi”, Aku
menatap Mama Algebra untuk memohon ijin.
Di bed putih,murid
terkasihku tampak sudah menunggu.
“ Ibu…pasti capek sekali perjalanannya
ya” Ia sedikit meringis kesakitan.
“Kata dokter bayiku laki – laki….” Ia
mengusap perutnya yang besar dengan bahagia. Aku tak bisa
berkata. “tapi ia segera menjadi milik Budhe...”. Algebra terbata. Aku menggenggam
tangannya.
“Aku
mulai mencintainya, Bu”, ia mengusap perutnya lagi, ”Tapi aku tidak lupa dengan
cita – citaku”. Algebra sungguh ingin jadi dokter. Ia belajar keras, namun
kejadian tak diinginkan telah terjadi.
“Sungguh bodoh ketika Kalvin sering
memujiku,aku seperti terlempar ke langit biru yang indah.Dan semuanya
membuyarkan impianku. Seperti saran Ibu, aku akhirnya jujur sama Mama.Kami
bicara banyak. Mama tidak ingin aku menikah.Akupun tidak pernah berpikir untuk
menikah.Kami adalah anak anak bau kencur yang salah arah.Dia pasti juga memiliki
beban yang tak kalah beratnya.Kevin juga punya impian akan masa depannya”.Gebra menyibakkan rambutnya, matanya
berkaca - kaca menerawang jauh.
“Budhe yang akan merawat bayiku,Bu. Beliau
pernah punya anak.Tapi meninggal ketika baru berumur beberapa minggu.Aku
bahagia karena punya keluarga besar yang menyayangiku, meski aku telah
menyusahkan mereka. Aku juga berterima kasih pada Ibu karena telah
membuatku senang matematika. Kata Dokter Alfa, kalau ingin jadi dokter harus
bagus nilai matematikanya” Algebra kembali meringis.
“
Mungkin sudah waktunya Bu. Bisa minta tolong dipanggilkan Suster?”.
*
Tak
lama terdengar tangis bayi yang gagah. Algebra mencium lama kening anaknya.
“Maafkan
Ibu, Nak. Bukan karena tak mau merawatmu. Tapi ini demi kebaikan kita bersama.
Doakan Mamamu ini bisa jadi dokter. Kelak kita pasti akan bersama.....”
Aku menutup catatanku, berharap
Gebra dapat meraih cita – citanya. Berharap ia tidak melupakan anaknya. Berharap murid – murid perempuanku lebih
berhati – hati dalam bergaul, karena jika terjadi seperti Gebra, maka
perempuanlah yang sangat rugi. Tertunda impian, atau bahkan harus membuang
impian masa depan. Anak – anak yang sudah kita didik dengan baik, tetap harus
selalu dalam pendampingan, karena kehidupan
adalah belantara.
******
Mnemonic = alat bantu mengingat, bisa berupa singkatan- singkatan yang mudah
dihafal. Sebagai contoh, mnemonic pada matematika yang sangat dikenali siswa
adalah cosami, sindemi dan tandesa untuk menunjukkan perbandingan
sisi – sisi pada segitiga siku – siku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar