JANGAN
PERGI….
Teta menatap ruangan yang menurutnya demikian luas. Kamar tidurnya !
Luasnya bisa dua kali dari kamar di rumahnya. Itupun untuk tidur berempat. Selain dirinya,
juga Ibu dan kedua adiknya. Sekarang, seluas ini ia tempati sendiri. Semuanya seperti
mimpi. Diawali dari mimpinya melanjutkan sekolah ke kota. Disana ada sekolah favorit, dengan
fasilitas teknologi yang sangat memadai.
“ Bukannya
ibu tidak ingin engkau pintar, Nak. Tapi
uang yang bisa ibu berikan paling – paling hanya cukup untuk ongkos transport ”.
Teta tertunduk, tapi harapannya tidak pupus..
“
Sekolah pasti menyediakan beasiswa Bu. Aku akan belajar yang rajin agar
mendapatkannya ”. Dan mimpi itu diwujudkanya. Ia diterima di
sekolah favorit, namun dalam beberapa bulan ia sudah terengah – engah.
Benar kata Ibu, uang sakunya hanya cukup untuk naik bus. Ia sudah tidak
jajan. Buku pelajaranpun banyak yang ia pinjam dari perpustakaan. Ia merasa
sudah setengah mati, namun ternyata banyak pengeluaran ekstra yang tak ia duga.
Fotocopy ini itu, iuran ini itu. Ini bukan tempat yang tepat untukku, desisnya.
Ia teringat nasib Bu Intan, guru PAUD di kampungnya. Bu Intan benar - benar intan di desanya. Ia pintar.Tapi
seperti dirinya,beliau juga berasal dari keluarga miskin yang tidak mampu menyekolahkan
tinggi – tinggi. Dan Bu Intan akhirnya memilih mencerdaskan belia, mengubur
impian insinyurnya.
“ Aku
dulu ingin jadi sarjana pertanian,Ta. Biar bisa kuajari petani dengan
teknologi, agar hasilnya bagus, dan kita bisa sejajar dengan para tengkulak
yang selama ini mendikte kita. Yang sering mengatakan produksi petani kita
kurang bagus, ujung – ujungnya hanya akan membeli dengan harga rendah ”. Teta
bukanlah Intan. Ia tidak mau menyerah dengan keadaan. Ia putuskan harus sekolah
ke kota, keluar dari desanya. Tapi ia hampir putus asa.
“
Mengapa melamun?” tegur Bu Ana. Teta gelagapan, “ kamu tidak bisa berbohong, Nak.
Bicaralah....”.
Dan inilah mimpi keduanya. Bu Ana mengajaknya tinggal di rumah beliau
yang hanya berjarak puluhan meter dari sekolah. Putra beliau cuma satu, kuliah
di Yogya. Bu Ana selalu pulang sore dari mengajar. Suaminya yang dosen hampir
selalu Magrib baru sampai rumah. Hanya ada dirinya dan Bik Yati. Ia menemukan
pengganti Ibu pada diri Bik Yati yang
selalu menyemangatinya belajar. *
Teta sedang menyiram tanaman ketika ada ketukan di pagar. Ia sangat
terkejut melihat siapa yang datang. Ia mengenalinya. Foto besar Kak Gamma
memang menghiasai ruang tengah.
“
Pembantu baru? ” tanya Gamma dengan suara datar membuat Teta gelagapan. Ia hanya mengangguk, dan cepat – cepat
mengambil selang airnya.
.” Hei… buatkan
kopi dulu ” Gamma memandangnya tajam. Membuat kopi? Oh....ia tidak pernah
melakukannya. Ayahnya sudah meninggal ketika ia masih kecil. Ia tidak memiliki
kesempatan membuat kopi untuk ayahnya. Ketika
ia kebingungan dengan takaran yang harus dibuat, Bik Yati mengambil alih
tugasnya.
“
Mas Gamma suka kalau kopinya agak pahit ”, bisik Bik Yati. Teta tidak pernah
menduga akan bertemu makhluk seketus itu. Gamma tidak pernah bermuka ramah
ketika mereka berpapasan, membuat Teta salah tingkah untuk menyapanya. Ia
seenaknya memerintah,meski Teta sedang
belajar. Kuliah Gamma tinggal tahap – tahap akhir. Ia
mulai merintis bisnis kecil – kecilan. Kamar depan telah direnovasi menjadi
ruang kantornya.
Dan malam itu tidak pernah dilupakannya. Ia harus belajar karena ada
ulangan fisika. Ia sungguh lupa membuat kopi pahit kesukaan Gamma.
“ Kamu pikir disini bisa tinggal gratis? ”
tegur Gamma. Tetap dengan suara datarnya. Teta membawa tangisnya dihadapan Umi
dan Abah.
“ Ijinkan Teta tinggal di sini, Umi. Mengajar
adik – adik mengaji ". Keluarga Abah tinggal di belakang mesjid. Selalu
ramai karena ada delapan anak yatim yang diasuh Abah. Teta menceritakan semua
masalahnya.
“ Saya sudah tahu diri, Abah. Saya juga
mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi saya juga ingin waktu belajar saya dihargai
karena saya ke kota ini untuk belajar. Nilai saya harus tetap bagus agar bea
siswa tidak dicabut ”. Teta memutuskan pamit baik – baik kepada Bu Ana. Mesjid
itu memang tidak jauh dari rumah beliau.
“ Saya akan mengajar mengaji adik – adik
disana, Bu. Sekaligus saya juga belajar ilmu agama sama Umi dan Abah ”.
*
Sudah seminggu Teta tinggal dengan keluarga besarnya. Ia sungguh
bahagia. Setiap sore bersama Umi, ia memandikan adik - adiknya yang masih
balita. Kemudian mengaji bersama. Seperti sore ini, Rahman sudah rapi dengan baju kokonya. Ia tampak bersemangat karena Abah mengatakan ia sudah lulus membaca Iqra jilid empat. Ia segera bergabung dengan teman – temannya yang akan mendengarkan Teta menceritakan kebiasaan – kebiasaan Nabi yang harus mereka teladani seperti misalnya Nabi menutup wajahnya dengan baju atau dengan tangan jika bersin.
“ Adakah diantara kalian yang pernah saling diam karena sebal atau jengkel? ”.
Beberapa anak saling pandang. Rini mengacungkan jarinya.
” Aku marah sama Bayu,kak. Pensilku kemarin
dihilangkannya. Bukannya minta maaf, dia malah mengatakan pensilku sudah
pendek, sudah nggak bisa dipakai ”
“ Lhah..memang iya pensilmu sudah jelek
“ ejek Bayu. Teta minta keduanya tidak bertengkar dan mengingat pesan Nabi.
“ Tidak boleh kalian memutuskan
persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Apalagi saling berpaling. Yang terbaik
adalah memulai mengucapkan salam. Rin,
orang kuat bukanlah orang yang menang bergulat tapi orang yang dapat menahan
diri ketika marah ”. Ada
beberapa kebiasaan Nabi yang Teta tekankan pada adik – adiknya. Jangan lupa
menyebut nama Allah
jika memulai makan, juga selalu berusaha untuk shalat berjamaah.
“ Ada tamu mencarimu ”, kata Abah. Dahi Teta berkerut. Tamu ? Ah.. yang
suka mencarinya hanya Bik
Yati, dan Abah sudah mengenalnya. Bik Yati sering membawa jajanan kemari.
Olahan hasil kebun. Kalau ada pisang, Bik Yati akan menggorengnya, atau dibuat
nagasari. Kalau panen singkong, macam – macam olahannya. Sawut, sentiling atau
lemet. Ia pernah membantu Bik Yati membuat gethuk ubi jalar. Pegal juga ia
menumbuknya. Bik Yati tertawa ketika ia menghabiskan 4 potong gethuk sekaligus.
Tamu itu tentu bukan Bik Yati. Teta terperanjat menjumpai Gamma di teras.
” Mengapa
pergi tidak pamit? ” tuduh Gamma membuat Teta ingin marah. Ia berhak menentukan kehidupannya, hidup
demi cita – citnya.Tapi ia mencoba sabar.
” Saya
sudah sampaikan hal ini ke Ibu ”. Gamma menatapnya.
“ Kamu
pamit kepada Ibu dan Ayah, bahkan kepada Bik Yati, tetapi mengapa tidak pamit
kepada kakakmu? ” . Teta tergagap. Kakak ?.
“
Maksud Kak Gamma? ”
“ Ta,
kamu adalah adikku. Mungkin aku memang kasar dan tidak ramah karena aku
terbiasa sendiri. Tapi begitu kamu pergi, aku baru menyadari artinya kehilangan
saudara. Aku rindu suara mengajimu, Ta.” Teta seperti tidak percaya dengan apa
yang didengarnya.
“ Kamu kan ingin jadi sarjana teknik “,
hmmm… ini pasti Bik Yati yang cerita,
“ Matematika dan fisikamu harus bagus. Dan jelek –jelek begini, kakakmu
ini ahlinya,” Gamma menjentikkan jarinya. Teta masih terpana.
“ Aku
juga rindu dengan kopi pahitmu yang seringkali terlalu pahit. Pasti kamu
sengaja....”
* * * * * *
Bahwa kemiskinan tidak bisa dijadikan alasan seseorang gagal meraih cita – cita, karena pasti
selalu ada jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar